• Headline News


    Tuesday, August 18, 2020

    Tan Malaka, Bapak Republik Yang Terlupakan

    Oleh: Amelda Salim S.IP
    Nasionalisme sering dikonotasikan dengan aspek emosional, kolektif dan idola serta memori historis. Nasionalisme selalu melibatkan dimensi emosi, rasa, seperti perasaan sepenanggungan, seperantauan dan senasib. Faktor memoris historis adalah faktor kecenderungan yang di bangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep kebangsaan. Sebagai upaya menumbuhkan rasa nasionalisme di Indonesia di awali dengan pembentukan identitas nasional yaitu, dengan adanya penggunaan istilah Indonesia untuk menyebut negara kita. 

    Dimana selanjutnya istilah Indonesia dipandang sebagai identitas nasional, lambang mempersatukan bangsa dalam menentang penjajahan. Kata yang mampu mempersatukan bangsa dalam melakukan perjuangan dan pergerakan melawan penjajah, sehingga segala bentuk perjuangan dilakukan demi kepentingan Indonesia bukan atas nama daerah.

    Proses menuju revolusi Indonesia sosok Ibrahim Datuk Tan Malaka, atau di kenal Tan Malaka, mungkin terlupakan atau bahkan asing  bagi generasi masa kini. Sosok yang  kaya gagasan filosofis, dan lincah berorganisasi telah melukis Indonesia dengan bergelora. 

    Di sepanjang hidupnya, Tan Malaka telah memenempuh berbagai royan, dari masa akhir Perang Dunia I, Revolusi Bolsyewik, hingga Perang Dunia II. Di kancah perjuangan kemerdekaan Indonesia TanMalaka merupakan tokoh pertama yang mengagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dahulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije 1928, dan Soekarno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933. Dalam buku Naar de Republiek dan Massa Actice(1926) yang ditulis dari tanah pelarian telah menginspirasi tokoh pergerakan di Indonesia. W.R.Supratman yang kemudian memasukan kalimat “Indonesia tanah tumpah darah ku” dalam lagu Indonesia Raya.  Oleh sebab itu Muhammad Yamin menjulukinya sebagai Bapak Republik Indonesia dan Soekarno menyebutnya Seorang yang mahir dalam revolusi.

    Di seputar Proklamasi Tan Malaka menorehkan  perannya yang penting. Ia menggerakkan para pemuda ke rapat raksasa di Lapangan Ikada, 19 September 1945. Inilah rapat yang menunjukan dukungan massa pertama terhadap proklamasi kemerdekaan yang waktu itu belum bergema keras dan masih sebatas catatan di atas kertas. Pada 17 Agustus 1945 telah terjadi keruntuhan. 

    Keruntuhan itu bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tidak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah, yang runtuh adalah sebuah wacana. Wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tetapi yang berfungsi disini sekedar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah Menjebol dan Membangun, maka wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut Hindia Belanda telah jebol, berantakan. Dan kami, bangsa Indonesia kian menegaskan diri.

    Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini kembali menjadi Hindia Belanda. 

    Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam  sebuah tulisan Di Tepi Kali Bekasi- sebuah revolusi besar sedang terjadi, revolusi jiwa dari jajahan hamba menjadi jajahan jiwa merdeka. Hasil dari perjuangan tersebut adalah sebuah subjek jiwa merdeka, makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi tulang yang berserakan. Sebab subjek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero. Dalam hal ini Tan Malaka benar: “Revolusi bukanlah suatu pendapat otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa”. Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Massa Actie yang terbit 1926.

    Dua puluh tahun kemudian memang benar terbukti bahwa, seperti dikatakannya, Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan. Itulah Revolusi Agustus. Tetapi kemudian terlihat betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heorik dari penguasa yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai hero. Sebab revolusi digerakan oleh sebuah pilihan dan keputusan, dan setiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak menjadi perubahan yang berkelanjutan, ia membutuhkan suatu agenda sebagai penentu dan satu pusat yang mengarahkan proses pelaksanaan agenda itu. 

    Bagi Soekarno, Indonesia harus mempunyai arah atau teori, yakni sosialisme dan arah itu ditentukan oleh pemimpin, yakni pemimpin besar revolusi. Tan Malaka tidak memiliki rumus seperti itu. Tetapi ia yakin akan perlunya satu partai yang revolusioner, yang mampu berhubungan baik dengan rakyat  akan mempunyai peran sebagai pimpinan.

    Dalam hal ini Tan Malaka juga mengagumi secara khusus pejuang kemerdekaan Tiongkok, DR. Sun Yat Sen, yang di kalangan pengikut bawah tanah dipanggil Sun Man. Setelah ia membaca buku San Min Chu I dan memberi kesimpulan bahwa DR. Sun bukanlah seorang Marxis, melainkan sepenuhnya seorang nasionalis. Dalam metode, dia tidak berpikir dialektis, tapi logika. Di sini terlihat bahwa Tan Malaka bukanlah seorang Marxis fundamentalis, karena dia dapat menghargai DR.Sun Yat-sen, nasionalis pengkritik Marxisme, dan mengagumi Dr Rizal, seorang sinyo borjuis dengan berbagai bakat tapi menunjukkan sikap satria sebagai pejuang kemerdekaan.

    Dalam bukunya Mandilog yang dianggap sebagai opus magnum, ia menguraikan tiga pemikiran yaitu: Materialisme, Dialektika, dan Logika. Materialisme diperkenalkannya sebagai paham tentang materi gai dasar terakhir alam semesta. Logika dibutuhkan untuk menetapkan sifat-sifat materi berdasarkan prinsip identitas atau prinsip nonkontradisi. Dialektika menunjukan peralihan dari satu identitas ke identitas lain. Dan sejak masa muda Tan Malaka sudah terpesona oleh Marxisme-Leninisme, sehingga paham inilah yang menyebabkan dia dipenjarakan berkali-kali dan dibuang ke luar negeri. Ini berarti bukan penjara dan pembuangan itu yang menjadikan Tan Malaka seorang Marxis, melainkan sikap dan pendiriannya yang Marxislah yang menyebabkan dia dipenjarakan dan dibuang. 

    Selain itu, dia tidak berjuang untuk kemenangan partai komunis di seluruh dunia, tetapi untuk kemerdekaan tanah airnya. Paradoksnya dia seorang Marxis tulen dalam pemikiran, tetapi Nasionalis dalam semua tindakannya. Sebelum Tan Malaka di buang oleh pemerintahan Belanda ia mengatakan Strom Ahead- ada topan menanti di depan. Dont lose your head! Ini sebuah language game yang mempunyai arti ganda: jangan kehilangan akal dan jangan kehilangan kepala. Tragisnya, dia yang tak pernah kehilangan akal di berbagai negara tempatnya melarikan diri, namun akhirnya kehilangan kepala di tanah air tercinta.

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Tan Malaka, Bapak Republik Yang Terlupakan Rating: 5 Reviewed By: Redaksi
    Scroll to Top