• Headline News


    Tuesday, October 3, 2017

    Obat Oplosan PCC dan Sikap Reaktif Pemerintah


    Penulis : 
    Dr. (can) Hasrul Buamona, S.H., M.H. 
    (Advokat dan Konsultan Hukum Kesehatan serta Direktur LPBH Nahdatul Ulama Yogyakarta)

    September 2017 tidak ceria seperti yang diidamkan oleh segenap masyarakat Indonesia layaknya judul lagu “September Ceria”. Keceriaan September memudar dikarenakan, mencuatnya di berbagai media terkait bebasnya peredaran obat-obatan berdosis tinggi yang dilarang beredar bebas oleh aturan hukum. Medio September 2017 di Kota Kendari Sulawesi Tenggara dikejutkan dengan penyalahgunaan obat PCC (paracetamol-caffein-carisoprodol) yang memakan korban anak-anak yang kedepan menjadi penerus bangsa. Dugaan obat PCC tersebut sampai di konsumsi dikarenakan ada oknum Apoteker melakukan pengedaran secara illegal obat PCC tersebut.

    Menurut Ketua IAI, Nurul Falah Edi Pariang memang benar rekan sejawat kami yang ditahan terkait obat Tramadol, sehingga IAI menghimbau seluruh apoteker di daerah agar hati-hati dan ikuti peraturan yang ada. Manakala harus memakai resep dokter, ya harus diikuti (Media Indonesia.com 26/9/2017).

    Permasalahan pengedaran obat berdosis tinggi dan jenis obat lainnya secara illegal di Indonesia bukan peristiwa yang baru terjadi, melainkan tindakan illegal tersebut telah lama terjadi hanya public khususnya media belum mempublikasikan hal tersebut untuk dijadikan masalah nasional. Tentunya ingat, padaAgustus 2016 terdapat kasus pengedaran vaksin palsu yang dilakukan tidak lain oleh tenaga medis perawat yang menjualnya pada rumah sakit ternama di Jakarta. Persoalannya sama dimana pemerintah selalu bersikap reaktif ketika ada masalah dan terlihat pengawasan begitu melemah mulai dari perusahan farmasi, distribusi farmasi sampai rumah sakit atau apotek yang menggunakan obat tersebut, sehingga pelanggaran hukum kefarmasian khususnya obat selalu saja terjadi.

    Menurut Zulhaima Rezna Salampessy salah satu apoteker di Kota Ambon Propinsi Maluku dalam wawancara dengan penulis, berpendapat bahwa terkait obat PCC tersebut telah ditarik peredarannya oleh BPOM sejak tahun 2013, namun ada oknum tertentu yang belum tentu apoteker melakukan produksi obat PCC dan menjual obat PCC tersebut secara luas. Selanjutnya menurut Zulhaima Salampessy pengawasan obat yang telah kadaluarsa harus segera dimusnakan dengan membuat berita acara pemusnahan yang kemudian ditunjukkan ke BPOM dan Dinas Kesehatan ssetempat, sedangkan obat dosis tinggi setiap pembelian di Apotek harus disertai resep dokter.

    Diakhir wawancara, Zulhaima Salampessy mengharapkan adanya pengawasan khusus terhadap anggota dan sarana pelayanan dari Ikatan Apoteker Indonesia, serta pemerintah dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) menyusun aturan yang melindungi apoteker dikarenakan tidak semua apoteker memiliki niat jahat untuk kepentingan ekonomi sesaat.

    Terkait Obat PCC yang tentunya telah membahayakan banyak orang khususnya generasi muda, dalam Al-qur’an juga telah melarang penggunaan obat yang member dampak buruk bagi kesehatan umat manusia sebagaimana diatur dalam surat Al-Maidah [5]:32 “Barangsiapa yang menghidupkan seseorang, dia bagaikan menghidupkan manusia semuanya”, selanjutnya diatur juga dalam surat Al-Anam [6]:119 “Padahal, sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-nya atas Mu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar-benar hendak menyesatkan orang lain dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas”   .

    Defenisi Obat dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yakni “bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki system fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia”.

    Dalam kasus obat PCC terdapat ruang bebas tanpa control penggunaan dan pengedarannya yang oleh Pasal 108 ayat (1) Undang-Undang Kesehatan telah mengatur bahwa “Praktik kefarmasiaan yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

    Apabila melihat kembali dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 73 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian telah mengatur bahwa penyelenggaraan kefarmasian harus didukung oleh ketersediaan sumberdaya kefarmasian yang berorientasi kepada keselematan pasien. Selain itu dalam Permenkes ini mengharuskan Apotek wajib mengirimkan laporan pelayanan kefarmasian secara berjenjang kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

    Menjadi permasalahan terbesar terletak pada sikap pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan BPOM yang selalu saja bersikap reaktif, ketika masalah ini mencuat ke public dan telah memakan korban. Namun jarang melakukan upaya preventif semisal melakukan sosialisasi terkait penggunaan dan pemanfaatan obat-obatan mana yang harus dikonsumsi dan tidak boleh dikonsumsi masyarakat, melakukan audit dan evaluasi kolektif baik bersama Apoteker, Apotek baik di klinik maupun di rumah sakit terkait jenis-jenis obat-obatan yang berdosis tinggi serta kadaluarsa obat-obatan yang tidak boleh diperjualbelikan. Padahal secara normative pengaturannya telah baik secara struktur dan system. Bahkan dalam ayat suci Al-qur’an telah jelas bahwa pengedaran obat-obatan yang membahayakan nyawa orang lain adalah perbuatan yang diharamkan.

    Sehingga dari beredarnya obat PCC tersebut telah merugikan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, penulis mengharapkan pemerintah jangan lagi bersikap reaktif dan mulailah melakukan upaya preventif, rehabilitasi, kuratif dan promotif dengan cara memperbanyak sosialisasi dan pendidikan penggunaan obat-obatan yang baik secara medis kepada masyarakat, dengan tidak lupa bekerjasama dengan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), serta mengupayakan para pelaku yang membuat dan mengedarkan obat PCC ditindak tegas sesuai hukum yang berlaku. #Mena (*)

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Obat Oplosan PCC dan Sikap Reaktif Pemerintah Rating: 5 Reviewed By: Kompas Timur
    Scroll to Top