• Headline News


    Sunday, July 5, 2020

    Maknai Pilkada Sebagai Kompetisi Ide dan Prestasi


    Oleh : Kaimudin Laitupa
    Mengingat status tahun 2020 ini tetap tahun pilkada, karena pelaksanaan pemilihan di 270 daerah yang terdiri 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota tetap dilaksanakan berdasarkan hasil rapat dengar pendapat yang diikuti komisi II DPR, Mentri Dalam Negeri, Bawaslu, KPU dan DKPP pada hari Rabu tanggal 27 Mei telah memutuskan tanggal 09 Desember 2020 sebagai hari pelaksana pemungutan suara Pilkada.

    Olehnya itu Pilkada tahun 2020 ini dimaknai sebagai kompetisi ide dan prestasi untuk menjaga mutu Pilkada sebagai perwujudan hak politik rakyat. Subtansinya Pilkada bukan semata mengganti orang atau kepemimpinan, Pilkada bukan lahan bisnis partai politik dan pilkada bukan nilai tukar tamba rupiah tapi Pilkada adalah instrumen suksesi kekuasaan melalui pemilihan umum untuk peralihan kekuasaan secara periodik dan tertib, agar memobilisasi pendapat publik menjadi sarana bagi rakyat menyalurkan aspirasinya.

    Sesungguhnya kata David Mendell dalam Bukunya From Promise to Power (2007) bahwa berpolitik tanpa ide dan gagasan sama artinya dengan memangku jabatan tanpa tanggung jawab. Olehnya itu memilih pemimpin itu harus dilihat pada visi, program dan rekam jejak berkarya dari kepala daerah yang dimiliki. Maka agenda uji publik menjadi syarat tersendiri bagi publik untuk menilai kualitas isi kepala daerah yang terbaik dan bermutu. Bukan memaksa publik untuk memilih kepala daerah yang krisis ide atau gagasan pada akhirnya makin menggeser makna politik dari tujuan Asasinya, karena politik hanya menjadi ruang adu jotos bukan adu ide atau gagasan.

    Artinya Pilkada 2020 adalah Pilkada ide atau gagasan bukan sekedar obral janji yang kosong subtansi, karena pengalaman disetiap momentum Pilkada pelbagai baliho dan spanduk dengan tampilan beragam oleh para kontestan yang akan bertarung hidup mati untuk memperebutkan tahta kekuasaan selama 5 tahun kedepan, berbagai strategi pencitraan dibalut dalam pesan politik yang manis dengan asal dapat meraup simpati serta mendulang suara pemilih disetiap hari H pencoblosan seperti dukun kami untuk perubahan yang lebih baik atau dengan tawaran visi misi lain kesehatan gratis, pendidikan gratis, membuka lapangan kerja, pengantasan kemiskinan dan lain sebagainya.

    Tujuannya untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan-jabatan politik yang diperebutkan lewat proses Pilkada.

    Publik harus tahu bahwa tujuan pelbagai baliho, spanduk dengan tampilan beragam. Seperti, dukung kami untuk perubahan dan tawaran visi misi lain kesehatan gratis, pendidikan gratis, membuka lapangan kerja, pengantasan kemiskinan semua itu adalah strategi partai politik untuk mendapat simpati publik terhadap kandidat kepala daerah yang diusung oleh partai politik, agar rakyat memilihnya. Sehingga akhir dari kontestasi pilkada semua visi misi dan program itu lenyap atau hilang tanpa sebab, dan ini sering terjadi disetiap momentum pilkada. Setidaknya partai politik harus tahu dan sadar diri bahwa rakyat itu adalah segalahnya di alam demokrasi. Seperti ungkapan Abraham Lincoln, Government Of The People, By The People, And For The People artinya pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat,dan untuk rakyat, bukan sebaliknya Buy The People (Membeli Rakyat), Dan Force The People (Menekan Rakyat) dengan segalah cara untuk meraih status Quo.

    Kata Yudi Latif dalam tulisannya "Tersesat dalam Pesta Demokrasi" yang dimuat di Media Indonesia, 17 Maret 2014 ketika uang menjadi bahasa politik, Suara bisa dibeli dan dimanipulasi, Idealisme pemilih dirobohkan, otoritas Komisi Pemilihan Umum dihancurkan, ketika nilai-nilai idealisme publik tidak memiliki saluran efektif, nilai-nilai kepentingan investor mendikte kebijakan politik. Maka nilai integritas Negara yang demokratis mengalami degradasi karena karakter politisi dengan cara menghalalkan segala cara disetiap pemilu masih terlihat aktif. Sehingga output dari Pilkada tidak ada daulat rakyatnya tapi daulat partai, sehingga cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat jauh dari harapan.

    Harapan Penulis bahwa, kesadaran kritis di tubuh partai politik harus ada dan aktif untuk mencari pola startegi yang ideal dalam rangka mengkampanyekan pendidikan politik kepada publik, bahwa bagaimana memilih kepalah daerah yang ideal. Tentunya strategi itu tidak hanya dilakukan saat menjelang Pilkada tetapi sudah harus dilakukan secara reguler jauh sebelum pelaksanaan Pilkada dimulai. Baca pikiran Surbakti (2015:11) untuk mewujudkan Pemilu demokratis,terdapat beberapa parameter yaitu: Kesatu Kesetaraan antar warga negara, Kedua; Kepastian hukum yang dirumuskan berdasarkan asas pemilu demokratis. Ketiga; Persaingan bebas dan adil antar kontestan pemilu. Keempat; Partisipasi seluruh pemangku kepentingan dalam seluruh rangkaian penyelenggaraan tahapan pemilu. Kelima; Badan penyelenggara Pemilu yang profe-sional, independen dan imparsial. Keenam; Integritas pemungutan, penghitungan, tabu-lasi dan pelaporan suara pemilu. Ketuju; Penyelesaian sengketa pemilu yang adil dan tepat waktu.

    Tentunya tuju Poin pikiran yang di tawarkan oleh  Surbakti (2015:11) diatas harus dimaknai dan dipraktekkan dalam kerja-kerja Pilkada. Agar mewujudkan kualitas pemilu demokrasi. Maka sukses dan tidaknya untuk mewujudkan kualitas pilkada demokrasi tergantung partisipasi publik. Sebaliknya partisipasi publik aktif dan tidaknya tergantung cara kerja KPU, Bawaslu dan Partai Politik teristimewa Partai Politik. Karena kenyataannya disetiap momentum Pilkada Partai politik lebih banyak titik fokusnya pada basis pemilih atau partisipasi penggunaan hak pilih ketimbang partisipasi politik masyarakat.

    Sehingga untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah tidak sesuai harapan.Karena titik fokus partai politik selama ini berada pada partisipasi penggunaan hak pilih dari pada partisipasi politik.Lihat ungkapan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi sebagai esensi penting dalam partisipasi politik,dimana ukuran utamanya adalah kemampuan masyarakat untuk terlibat dalam mempengaruhi kebijakan.

    Olehnya itu partai politik harus memahaminya.Pilkada tahun 2020 ini utamakan partisipasi Politik masyarakat.Karena semakin banyak partisipasi politik Masyarakat untuk memberikan hak politiknya.Maka semakin berkualitas sistem Demokrasi kita. Sehingga  akhir dari proses Pilkada untuk menghasilkan kualitas pemimpin transformasional dan mampu bertindak sebagai problem solver di masa mendatang bisa tercita-citakan. (Opini)

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Maknai Pilkada Sebagai Kompetisi Ide dan Prestasi Rating: 5 Reviewed By: Redaksi
    Scroll to Top