• Headline News


    Sunday, December 9, 2018

    Eksistensi Waria Dalam Tekanan Masyarakat



    ** Seperti melawan lupa. Mereka ada dan bersama masyarakat, tapi tetap diabaikan. Hak mereka sebagai warga, bahkan tak berarti, saat di mana warga memuncak amarahnya. Begitulah yang harus dihadapi oleh kelompok masyarakat trans jender (waria) **


    Selain dilahirkan, mereka juga menjalani hidup secara normal, seperti masyarakat umum. Hanya saja, mereka tetap menjadi bagian ekor di mata masyarakat umum. Kata-kata tidak manusiawi, kerap dialamatkan kepada mereka. Padahal, waria tak kalah sukses dalam berbagai dunia usaha. Bahkan, sebagian dari mereka, telah berhasil menembus angka pangsa pasar dengan usahanya sendiri, termasuk memiliki dan membuka lapangan kerja kepada masyarakat.


    Madina dan Halim, potret dua waria di Kota Ambon, Provinsi Maluku yang mampu melawan stigma masyarakat karena berusaha secara sungguh-sungguh melakukan kegiatan amal. 


    Mereka bahkan jauh lebih unggul dan pintar dalam mengelola usaha, dibanding kelompok masyarakat lainnya, yang hanya duduk manis dan menikmati sesajian dari orang tuanya. Kendati sering dipinggirkan masyarakat, mereka tetap memiliki semangat bertahan untuk hidup, meski adanya tekanan dari masyarakat. Diterima sebagai pemimpin masyarakat lokal.


    Madina Mansyur (42), salah satu waria yang tinggal di wilayah Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, bahwa, kecaman dan ocehan dari masyarakat, bahkan kini menjadi beton yang kokoh. 

    Berbagai stempel yang dicapkan ke mereka, tetap saja tidak menggugurkan usaha mereka untuk dapat melintasi ruang hidup bersama warga. 


    “Dulu saya diidentikkan dengan HIV-AIDS dan narkotik,” kata  Dina, demikian dia biasa disapa,  ketika ditemui di rumahnya di Waiheru, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, pada 25 November 2018 lalu.


    Meski di cap buruk, Dina tak terpaku pada stigma tersebut. Buktinya, Dina sukses membangun usaha dan memimpin Lembaga Pengabdian Pemuda Bangsa (LP2B) yang didirikan sejak Tahun 2005 silam bersama enam temannya. 


    Kerasnya arus globalisasi yang kian menimpa masyarakat, tidak membuat Dina pantang mundur melintasi badai, untuk memenjaga agar lembaganya tetap eksis dan mendapat kepercayaan masyarakat.


    Sebelum mendirikan LP2B, Dina aktif di sejumlah lembaga yang berupaya memulihkan perdamaian di Ambon serta membantu korban konflik horizontal itu. Dina misalnya pernah bekerja sama dengan Unicef, Yayasan Abdi Jakarta, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat lokal.


    Bersama enam rekannya, Dina kerap terjun untuk menangani masalah-masalah sosial di masyarakat, sesuai visi dan misi lembaga yang dinakhodainya. Di mana, LP2B menangani masalah sosial-kemasyarakatan, kesehatan masyarakat, seperti kasus-kasus gender, Narkotika, HIV/Aids, kesehatan reproduksi, keluarga berencana, bahkan kontrasepsi. Lembaga ini juga pernah mendampingi korban perdagangan orang. “Ada beberapa kasus perdagangan orang yang kami gagalkan,” ujar Dina.


    Bertindak sebagai direktur, Dina tentu sangat hati-hati dalam mengurus organisasinya. Meski sering khawatir akan hujatan dari masyarakat tentang mereka, Dina tetap mendayuh usahanya tanpa putus asa. 


    Tak ayal, Dina juga membaca tanda-tanda perubahan zaman dari setiap masa. Terbukti, selain mengurus LP2B, ia juga menjalankan usaha mobil Angkot, bengkel service, plus lembaga kursus bahasa asing serta pelatihan. 


    Bengkel yang Dina kelola bernama ‘Awal Bengkel’. Dia mempekerjakan dua orang montir. Semula, usaha bengkel itu berjalan lancar. Belakangan, Awal Bengkel sepi karena kurang pelanggan. Dina akhirnya lebih berfokus menjual alat-alat dan suku cadang sepeda motor. Bengkel service berada di tepi kali desa Waiheru.


    Adapun lantai dua bangunan bengkel itu kini menjadi tempat belajar bahasa Ingris dan Jerman. Kursus itu semula dirancang untuk masyarakat umum. Belakangan, Dina pun membuka kelas khusus bahasa gratis untuk peserta dari keluarga tidak mampu. 

    Satu paket kursus biasanya berjalan selama empat bulan. Dalam sepekan, peserta kursus bahasa dua kali belajar secara tatap muka, biasanya pada Selasa dan Rabu. Tenaga pengajarnya ada yang berprofesi sebagai guru dan dosen di salah satu sekolah tinggi di Kabupaten Bagian Barat.


    Rumahnya yang menempati kawasan Waiheru, disulap menjadi kantor LP2B. Hal ini dilakukannya, agar memudahkan Dina untuk mengakses aktifitasnya sehari-hari, dalam mengelola berbagai usahanya tersebut. Salah satu Angkot yang dikelolanya lintasan Waiheru-Mardika.


    “Alhamdulillah, lumayan baik perkembangannya untuk menopang aktivitas lembaga (LP2B). Karena ini lembaga non profit, maka semua layanan di LP2B itu tidak dipungut biaya,” ungkapnya. 


    Seiring perjalanan waktu, tetangga dan masyarakat sekitar mulai menerima kehadiran Dina di tengah-tengah mereka. Dari hari ke hari, makin banyak pula anggota masyarakat yang terlibat dalam pelbagai aktivitas sosial yang digagas LP2B. “Secara perlahan, mindset masyarakat bisa diubah dengan cara sering berdiskusi,” kata Dina.


    Jurus Dina dalam mereduksi stigma sederhana saja. Ketika orang memandang ‘sebelah mata’ atas dirinya atau waria lain, Dina tak menjauhi apalagi memusuhi mereka. Sebaliknya, Dina berusaha mendekati dan berbaur dengan mereka. Setiap kali ada kesempatan, Dina mennjelaskan bahwa apa yang didengar orang-orang itu tentang waria belum tentu benar.


    Kini, Dina merasa tak ada masalah lagi dalam hal penerimaan masyarakat atas dirinya. Bahkan, Dina pernah beberapa kali diminta untuk menjadi ketua rukun tetangga di lingkungan tempat tinggalnya. Namun, Dina selalu menolak tawaran itu. 

    “Karena saya lebih senang melaksanakan kerja sosial dan kerja amal,” kata Dina. 


    Menurut Dina, menjadi ketua RT mendatangkan beban moral pada dirinya. Dia harus benar-benar berbuat adil kepada semua warga. Tak hanya ketua RT, warga juga pernah mendorong Dina untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Tapi,  Dina kembali menolak dorongan itu dan memilih tetap memimpin LP2B. 

    Meski tak menduduki jabatan pemerintahan, Dina kerap diminta pandangan ketika di tengah masyarakat muncul suatu masalah. 


    Sembari berusaha menghapus stempel buruk dari masyarakat, Dina pun tak lupa mengingatkan teman-temannya sesama waria. Supaya tidak dipandang rendah, Dina mengajarkan agar para waria mempunyai kemampuan dan keterampilan tertentu. Dina juga menganjurkan agar waria lainnya  mau berbaur dengan masyarakat. Toh, kata Dina, dalam konteks Hak Asasi Manusia, para waria mempunyai hak yang sama dengan anggota masyarakat lainnya.


    Dina tak sendirian dalam ikhtiar melepaskan diri dari stigma dengan berkiprah di masyarakat.  Waria lain, Halim Silawane, 43 tahun, misalnya. Halim tak hanya dikenal sebagai kapster di MC Salon Leadirs And Gent, salon kecantikan yang dia kelola. Halim pun aktif sebagai Ketua Gaya Warna Lentera (GWL) Provinsi Maluku - komunitas waria yang menginduk ke GWL Indonesia di Jakarta. 


    Lewat komunitas GWL Maluku, Halim aktif dalam upaya pencegahan, pengobatan, dan pemberian dukungan terhadap penderita penyakit infeksi menular seksual seperti HIV-AIDS. Dalam pelbagai kesempatan, lewat GWL Maluku pula, Halim kerap menggelar acara amal. 


    Di luar urusan salon dan HIV-AIDS, di Tahun 2017, Halim juga dipercaya masyarakat untuk menjadi ketua RT 004/RW 04 Kelurahan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe, Kota Ambon. Sebelumnya, Halim pernah menjabat sekretaris rukun tetangga setempat. 


    Meskipun latarbelakang pendidikan Halim hanya seorang lulusan SMA pada tahun 1994, namun Lurah Waihaong kemudian mengangkat dia sebagai pelaksana tugas ketua RT selama kurang lebih satu tahun, setelah ketua RT lama meninggal. Lalu, pada pemilihan berikutnya, Halim terpilih sebagai ketua RT. ”Di kelurahan ini, baru kali ini seorang waria menjadi pemimpin pemerintahan walau hanya di struktur terbawah,” kata dia.


    Halim bercerita, menjelang pemilihan ketua RT, sempat beredar desas-desus bahwa sebagian warga hanya akan memilih calon yang merupakan penduduk asli kelurahan tersebut. Tapi, akhirnya masyarakat tetap memilih dia. “Saya orang pendatang, saya juga waria, dan saya terpilih jadi ketua RT,” kata Halim. 

    “Itu menjadi kebanggaan teman-teman komunitas waria.”


    Sejumlah warga menuturkan, Halim terpilih menjadi ketua RT karena dia sangat memperhatikan kebersihan lingkungan. Halim kerap berkeliling kampung mendorong gerobak untuk membersihkan sampah. “Prestasi Halim baik, karena aktif memperhatikan lingkungan sekitar, kita sebagian besar warga mendukungnya sebagai ketua RT, dan dia terpilih sebagai ketua RT kami,” kata seorang warga bernama Sahril.


    Sejak menjabat ketua RT, Halim pun makin sering terlibat dalam kegiatan pemerintahan, seperti sosialisasi keamanan dan ketertiban masyarakat bersama kepolisian dan TNI.  Dia juga kerap berpartisipasi dalam kegiatan bakti sosial yang digelar Pemerintah Kota Ambon.


    Walhasil, seperti halnya Dina, Halim pun mewakili sosok waria yang berhasil mengikis stigma dengan cara berbaur dengan masyarakat dan aktif dalam pelbagai kegiatan sosial.  (KT/SAM)

    Baca Juga

    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Post a Comment

    Item Reviewed: Eksistensi Waria Dalam Tekanan Masyarakat Rating: 5 Reviewed By: Redaksi
    Scroll to Top